welcome to my blog,
in this blog you can find the interesting articles, tips and triks all about computers, any softwares, about business on the internet (Bisnis Internet), and
Understanding Life
let's begin
Team Viewer adalah salah satu aplikasi Remote PC via internet yang paling simple. Pada pengunaan sehari-hari untuk support Customer maupun Support rekan-rekan YF, penulis sering mengunakan Team Viewer untuk me-remote PC atau Laptop baik di dalam kota, luar kota, luar pulau bahkan di luar negeri. Karena remote ini via internet maka kelancaran proses remote ini juga sangat bergantung pada SPEED akses internet kita. Setidaknya dari analisa penulis mengunakan akses internet dengan bandwith 128 Kbps ( Upload & Download balance ), sudah dapat digunakan untuk remote Team Viewer dengan lancar. Apalagi saat ini high speed akses internet juga sudah cukup murah…
Team Viewer dapat digunakan secara insidentil maupun kita install secara permanen pada PC kita, bahkan dapat di setting AUTORUN begitu PC sudah ready use dan kita bisa langsung me-remote PC tersebut via internet. MengenaiLicensing TeamViewer adalah FREE License untuk pengunaan personal. Dari pengalaman penulis, Installasi TeamViewer pada Windows 2000, Windows XP, Windows Vista, Windows 7, tidak ada batasan Trial Day atas pengunaan Team Viewer ini. Tapi jika kita Install pada OS Windows Server ( 2000 / 2003 / 2008 ), maka jika sudah lewat 30 hari maka masa Trial-nya akan habis…
Berikut ini adalah Step by Step Installasi TeamViewer pada PC yang akan kita remote alias PC Target :
Pertama : Download installer-nya lalu klik TeamViewer-Setup .. Pilih Install lalu klik Next…
Kedua : Pilih pengunaan Personal / non-commercial use lalu klik Next…
Ketiga : Aktifkan pilihan Accept License Agreement dan Agree Non Commercial use lalu klik Next…
Keempat : Kita pilih Option Start Automatically with Windows lalu tentukan password akses TeamViewer ke PC ini lalu klik Next. Installasi ini memang kita tujukan agar PC ini anytime dapat kita remote dari mana aja via internet. Misalnya PC ini memiliki akses untuk Remote Desktop ke TERMINAL SERVER atau punya akses untuk Remote Seluruh PC dalam jaringan LAN kita mengunakan NetSupport Manager. Jadi PC dengan TeamViewer ini akan kita gunakan untuk mengakses seluruh jaringan LAN atau infrastruktur kita dari lokasi dimana saja kita berada.
Kelima : Tentukan / setting Access Control ini dengan Full Access agar saat kita lakukan remote tidak perlu ada action lagi pada PC ini namun bisa langsung Full Access.
Keenam : Klik Next dan proses installasi aplikasi akan berjalan hingga FINISH.
Ketujuh : Setelah itu akan muncul tampilan seperti dibawah ini, catat Nomor ID dan password-nya karena catatan inilah yang akan kita gunakan untuk proses Remote PC ini dari tempat lain. Password dapat kita atur lebih lanjut agar lebih aman dengan masuk ke menu Extras -> Option.
~~~
#
~~~ Konfigurasi Team Viewer pad PC yang me-Remote PC lain :
Sampai disini proses konfigurasi di PC Client telah selesai, selanjutnya kita melakukan konfigurasi pada PC lain yang akan me-remote PC tadi via Internet. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Jalankan Aplikasi Team Viewer, lalu kita pilih Option atau Mode RUN saja.
Kedua : Accept License Agreement lalu klik Next.
Ketiga : Setelah itu akan muncul seperti gambar dibawah ini dan TeamViewer sudah ready user / siap pakai, baik untuk me-remote maupun untuk di remote. Selanjutnya masukkan Nomor ID TeamViewer yang telah kita dapatkan untuk melakukan Remote PC tersebut lalu klik Connect To Partner.
Keempat : Masukkan Password authentikasi akses TeamViewer dari PC yang akan kita remote, lalu kita klik Log On.
Kelima : Selanjutnya……….. Taaarrrrrraaaaa……. jadi dech kue masakan kita…. eh muncul dech Desktop PC yang kita remote.
Setelah PC kita dapat me-remote dan berkomunikasi dengan PC yang akan kita support maka selanjutnya kita juga bisa melakukan aktifitas Remote atau mengunakan PC tersebut layaknya dia ada didepan kita, dapat melakukan Chattingdengan pengunanya, dapat melakukan Transfer file dari PC kita ke PC Target, sharing video di PC kita, melakukanInstall aplikasi pada PC tersebut maupun melakukan Remote ke Terminal Server dengan Remote Desktop ataupunNetSupport Manager termasuk juga remote ke Winbox Mikrotik Local serta ke peripheral LAN yang lain.
Okey… Selamat mencoba dan tetap semangat utk belajar dan berbagi ilmu...
Struktur Kepribadian Id, Ego dan Superego Sigmund Freud
Menurut
teori psikoanalitik Sigmund Freud,
kepribadian terdiri dari tiga elemen. Ketiga unsur kepribadian itu dikenal
sebagai id, ego dan superego
yang bekerja sama untuk menciptakan perilaku manusia yang kompleks.
1. Id
Id adalah satu-satunya komponen kepribadian yang
hadir sejak lahir. Aspek kepribadian sepenuhnya sadar dan termasuk dari
perilaku naluriah dan primitif. Menurut Freud, id adalah sumber segala energi
psikis, sehingga komponen utama kepribadian.
Id didorong oleh prinsip kesenangan,
yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan
kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak puas langsung, hasilnya adalah kecemasan
negara atau ketegangan.
Sebagai contoh, peningkatan rasa lapar atau haus
harus menghasilkan upaya segera untuk makan atau minum. id ini sangat penting
awal dalam hidup, karena itu memastikan bahwa kebutuhan bayi terpenuhi. Jika
bayi lapar atau tidak nyaman, ia akan menangis sampai tuntutan id terpenuhi.
Namun, segera memuaskan kebutuhan ini tidak
selalu realistis atau bahkan mungkin. Jika kita diperintah seluruhnya oleh
prinsip kesenangan, kita mungkin menemukan diri kita meraih hal-hal yang kita
inginkan dari tangan orang lain untuk memuaskan keinginan kita sendiri.
Perilaku semacam ini akan baik mengganggu dan sosial tidak dapat diterima.
Menurut Freud, id mencoba untuk menyelesaikan ketegangan yang diciptakan oleh
prinsip kesenangan melalui proses utama, yang melibatkan pembentukan citra
mental dari objek yang diinginkan sebagai cara untuk memuaskan kebutuhan.
2. Ego
Ego adalah komponen kepribadian yang bertanggung
jawab untuk menangani dengan realitas. Menurut Freud, ego berkembang dari id
dan memastikan bahwa dorongan dari id dapat dinyatakan dalam cara yang dapat
diterima di dunia nyata. Fungsi ego baik di pikiran sadar, prasadar, dan tidak
sadar.
Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, yang
berusaha untuk memuaskan keinginan id dengan cara-cara yang realistis dan
sosial yang sesuai. Prinsip realitas beratnya biaya dan manfaat dari suatu
tindakan sebelum memutuskan untuk bertindak atas atau meninggalkan impuls.
Dalam banyak kasus, impuls id itu dapat dipenuhi melalui proses menunda
kepuasan – ego pada akhirnya akan memungkinkan perilaku, tetapi hanya dalam
waktu yang tepat dan tempat.
Ego juga pelepasan ketegangan yang diciptakan
oleh impuls yang tidak terpenuhi melalui proses sekunder, di mana ego mencoba
untuk menemukan objek di dunia nyata yang cocok dengan gambaran mental yang
diciptakan oleh proses primer id’s.
3. Superego
Komponen terakhir untuk mengembangkan kepribadian
adalah superego. superego adalah aspek kepribadian yang menampung semua standar
internalisasi moral dan cita-cita yang kita peroleh dari kedua orang tua dan
masyarakat – kami rasa benar dan salah. Superego memberikan pedoman untuk
membuat penilaian.
Ada dua bagian superego:
Yang ideal ego mencakup aturan dan standar untuk
perilaku yang baik. Perilaku ini termasuk orang yang disetujui oleh figur
otoritas orang tua dan lainnya. Mematuhi aturan-aturan ini menyebabkan perasaan
kebanggaan, nilai dan prestasi.
Hati nurani mencakup informasi tentang hal-hal
yang dianggap buruk oleh orang tua dan masyarakat. Perilaku ini sering dilarang
dan menyebabkan buruk, konsekuensi atau hukuman perasaan bersalah dan
penyesalan. Superego bertindak untuk menyempurnakan dan membudayakan perilaku
kita. Ia bekerja untuk menekan semua yang tidak dapat diterima mendesak dari id
dan perjuangan untuk membuat tindakan ego atas standar idealis lebih karena
pada prinsip-prinsip realistis. Superego hadir dalam sadar, prasadar dan tidak
sadar.
Interaksi dari Id, Ego dan
superego
Dengan kekuatan bersaing begitu banyak, mudah
untuk melihat bagaimana konflik mungkin timbul antara ego, id dan superego.
Freud menggunakan kekuatan ego istilah untuk merujuk kepada kemampuan ego
berfungsi meskipun kekuatan-kekuatan duel. Seseorang dengan kekuatan ego yang
baik dapat secara efektif mengelola tekanan ini, sedangkan mereka dengan
kekuatan ego terlalu banyak atau terlalu sedikit dapat menjadi terlalu keras
hati atau terlalu mengganggu.
Menurut Freud, kunci kepribadian yang sehat adalah keseimbangan
antara id, ego, dan superego.
Menurut Stephen R.
Covey, IQ adalah kecerdasan manusia yang berhubungan dengan mentalitas, yaitu
kecerdasan untuk menganalisis, berfikir, menentukan kausalitas, berfikir
abstak, bahasa, visualisasi, dan memahami sesuatu. IQ adalah alat kita untuk
melakukan sesuatu letaklnya di otak bagian korteks manusia. Kemampuan ini pada
awalnya dipandang sebagai penentu keberhasilan sesorang. Namun pada
perkembangan terakhir IQ tidak lagi digunakan sebagai acuan paling mendasar
dalam menentukan keberhasilan manusia. Karena membuat sempit paradigma tentang
keberhasilan, dan juga pemusatan pada konsep ini sebagai satu satunya penentu
keberhasilan individu dirasa kurang memuaskan karena banyak kegagalan yang
dialami oleh individu yang ber IQ tinggi (dalam Sukidi).
Ketidak puasan terhadap konsepsi IQ sebagai
konsep pusat dari kecerdasan seseorang telah melahirkan konsepsi yang
memerlukan riset yang panjang serta mendalam. Daniel Golman mengeluarkan
konsepsi EQ sebagai jawaban atas ketidak puasan manusia jika dirinya hanya
dipandang dalam struktur mentalitas saja. Konsep EQ memberikan ruang terhadap
dimensi lain dalam diri manusia yang unik yaitu emosional. Disamping itu Golman
mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam
diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam
menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut (dalam
Danah Zohar dan Ian Marshal)
Komponen utama dari kecerdasan sosial ini adalah
kesadaran diri, motivasi pribadi, pengaturan diri, empati dan keahlian sosial.
letak dari kecerdasan emosional ini adalah pada sistem limbik. EQ lebih pada
rasa, Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita
tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ)
secara efektif, karena IQ menentukan sukses hanya 20% dan EQ 80%.
Kecerdasan spiritual mampu mengoptimalkan kerja
kecerdasan yang lain. Individu yang mempunyai kebermaknaan (SQ) yang tinggi,
mampu menyandarkan jiwa sepenuhnya berdasarkan makna yang ia peroleh, dari sana ketenangan hati akan
muncul. Jika hati telah tenang (EQ) akan memberi sinyal untuk menurunkan kerja
simpatis menjadi para simpatis. Bila ia telah tenang karena aliran darah telah
teratur maka individu akan dapat berfikir secara optimal (IQ), sehingga ia
lebih tepat dalam mengambil keputusan. Manajemen diri untuk mengolah hati dan
potensi kamanusiaan tidak cukup hanya denga IQ dan EQ, kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan yang sangat berperan dalam diri manusia sebagai pembimbing
kecerdasan lain. Kini tidak cukup orang dapat sukses berkarya hanya dengan
kecerdasan rasional (yang bekerja dengan rumus dan logika kerja), melainkan
orang perlu kecerdasan emosional agar merasa gembira, dapat bekerjasama dengan orang
lain, punya motivasi kerja, bertanggung jawab dan life skill lainnya.
Perlunya mengembangkan kecerdasan spiritual agar ia merasa bermakna, berbakti
dan mengabdi secara tulus, luhur dan tanpa pamrih yang menjajahnya. Karena itu
sesuai dengan pendapat Covey diatas bahwa “SQ merupakan kunci utama kesadaran
dan dapat membimbing kecerdasan lainnya”.
Pendahuluan
Asumsi manusia sebagai homo sapiens atau al-hayawan al-nathiq (spesies yang
berfikir) ternyata dianggap keliru. Visi baru para ilmuan menemukan bukti porsi
intelektualitas manusia hanya merupakan bagian terkecil dari totalitas
kecerdasan manusia. Kalangan ilmuan menemukan tiga bentuk kecerdasan dalam diri
manusia, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan
kecerdasan spiritual (SQ).
IQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas akal yang berpusat di
otak, EQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui kreatifitas emosional yang
berpusat di dalam jiwa, dan SQ ialah kecerdasan yang diperoleh melalui
kreatifitas rohani yang mengambil lokus di sekitar wilayah roh.
Ketiga aktifitas kreatif di atas mengingatkan kita kepada tiga konsep struktur
kepribadian Sigmund Freud (1856-1939), yaitu id, ego, dan superego. Id adalah
pembawaan sifat-sifat fisik-biologis seseorang sejak lahir. Id ini menjadi
inspirator kedua struktur berikutnya. Ego, bekerja dalam lingkup rasional dan
berupaya menjinakkan keinginan agresif dari Id. Ego berusaha mengatur hubungan
antara keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial.
Ego membantu seseorang keluar dari berbagai problem subyektif individual dan
memelihara agar bertahan hidup (survival) dalam dunia realitas. Superego
berfungsi sebagai aspek moral dalam kepribadian, berupaya mewujudkan
kesempurnaan hidup, lebih dari sekedar mencari kesenangan dan kepuasan.
Superego juga selalu mengingatkan dan mengontrol Ego untuk senantiasa
menjalankan fungsi kontrolnya terhadap id.[1]
Meskipun tidak identik, IQ dapat dihubungkan dengan Id, Ego dapat dihubungkan
dengan EQ, dan Superego dapat dihubungkan dengan SQ.
Pemilik IQ tinggi bukan jaminan untuk meraih kesuksesan. Seringkali ditemukan
pemilik IQ tinggi tetapi gagal meraih sukses; sementara pemilik IQ pas-pasan
meraih sukses luar biasa karena didukung oleh EQ. Mekanisme EQ tidak berdiri
sendiri di dalam memberikan kontribusinya ke dalam diri manusia tetapi
intensitas dan efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh unsur kecerdasan ketiga
(SQ).
SQ sulit sekali diperoleh tanpa kehadiran EQ, dan EQ tidak dapat diperoleh
tanpa IQ. Sinergi ketiga kecerdasan ini biasanya disebut multiple intelligences
yang bertujuan untuk melahirkan pribadi utuh (“al-insan al-kamilah). Untuk
penyiapan SDM di masa depan, internalisasi ketiga bentuk kecerdasan ini tidak
dapat ditawar lagi.
Di dalam Al-Qur’an, ketiga bentuk kecerdasan ini tidak dijelaskan secara
terperinci. Namun, masih perlu dikaji lebih mendalam beberapa kata kunci yang
berhubungan dengan ketiga pusat kecerdasan yang dihubungkan dengan ketiga
substansi manusia, yaitu unsur jasad yang membutuhkan IQ, unsur nafsani yang
membutuhkan EQ, dan unsur roh yang membutuhkan SP.
Substansi Manusia dalam Al-Qur’an
Substansi manusia dalam Al-Qur’an mempunyai tiga unsur, yaitu unsur jasmani,
unsur nafsani, dan unsur rohani. Keterangan seperti ini dapat difahami di dalam
beberapa ayat, antara lain Q.S. al-Mu'minun/23:12-14 sebagai berikut:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan)
dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan
segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia
makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, Pencipta Yang Paling Baik
(14).
Kata dalam ayat ini menurut para mufassir dimaksudkan sebagai unsur rohani
setelah unsur jasad dan nyawa (nafsani). Hal ini sesuai dengan riwayat Ibn
Abbas yang menafsirkan kata dengan (penciptaan roh ke dalam diri Adam)[2]
Unsur ketiga ini kemudian disebut unsur ruhani, atau lahut atau malakut. yang
menjadikan manusia berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Unsur ketiga ini
merupakan proses terakhir dan sekaligus merupakan penyempurnaan substansi
manusia sebagaimana ditegaskan di dalam beberapa ayat, seperti dalam Q.S.
al-Hijr/15:28-29:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kalian kepadanya dengan bersujud.
Setelah penciptaan unsur ketiga ini selesai maka para makhluk lain termasuk
para malaikat dan jin bersujud kepadanya dan alam raya pun ditundukkan
(taskhir) kepada Adam. Unsur ketiga ini pulalah yang mendukung kapasitas
mamnusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi (Q.S. al-An‘am/6:165)
di samping sebagai hamba (Q.S. al-zariyat/51:56).
Meskipun memiliki unsur ketiga, manusia akan tetap menjadi satu-satunya makhluk
eksistensialis, karena hanya makhluk ini yang bisa turun naik derajatnya di
sisi Tuhan. Sekalipun manusia ciptaan terbaik (ahsan taqwim/Q.S. al-Tin/95:4),
ia tidak mustahil akan turun ke derajat "paling rendah" (asfala
safilin/Q.S. al-Tin/95:5), bahkan bisa lebih rendah daripada binatang (Q.S.
al-A‘raf/7:179). Eksistensi kesempurnaan manusia dapat dicapai manakala ia
mampu mensinergikan secara seimbang potensi kecerdasan yang dimilikinya, yaitu
kecerdasan unsur jasad (IQ), kecerdasan nafsani (EQ), dan kecerdasan ruhani
(SQ).
Kecerdasan Intelektual (IQ)
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa
dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total
berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30
persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10
sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan
sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus
diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5
% dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum
memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Otak dapat dibagi menjadi otak kiri dan otak kanan. Otak kiri memiliki fungsi
analisis dan otak kanan memiliki fungsi kreatif. Meskipun masih banyak
ditentang, kalangan imuan mengidentifikasi otak kiri sebagai orak feminin dan
otak kanan sebagai otak maskulin. Walaupun terpisah tetapi keduanya saling
berhubungan secara fungsional. Kelainan akan terjadi manakala hubungan
fungsional itu terganggu.
Wilayah aktifitas otak juga dapat dibedakan antara pikiran sadar dan pikiran
bawah sadar. Wilayah pikiran sadar hanya sekitar 12 % dan selebihnya (88%)
adalah wilayah pikiran bawah sadar. Di antara kedua wilayah ini, ada garis
pemisah yang disebut Reticular Activating System (RAT), yang berfungsi
untuk menyaring informasi tidak perlu atau berlebihan supaya kita tetap bisa waras.
Di wilayah bawah sadar tersimpan semua ingatan dan kebiasaan, kepribadian dan
citra diri kita.
Di dalam sistem otak kita ada suatu bagian yang disebut limbik (otak kecil),
terletak di bawah tulang tengkorak di atas tulang belakang. Otak kecil ini ditemukan
oleh para ilmuan memiliki tiga fungsi, yaitu mengontrol emosi, mengontrol
seksualitas, dan mengontrol pusat-pusat kenikmatan.
Dari sini difahami bahwa otak dan emosi memiliki hubungan yang fungsional yang
saling menentukan antara satu dan lainnya. Penelitian Rappaport di tahun
1970-an menyimpulkan bahwa emosi tidak hanya diperlukan dalam penciptaan
ingatan, tetapi emosi adalah dasar dari pengaturan memori. Orang tidak akan
pernah mencapai kesuksesan dalam bidang apapun kecuali mereka senang menggeluti
bidang itu. Jadi untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual yang biasa disebut
dengan accelerated learning, tidak dapat dicapai tanpa bantuan aktifitas
emosional yang positif.[3]
Di dalam Al-Qur’an, kecerdasan intelektual dapat dihubungkan dengan beberapa
kata kunci seperti kata??? (saecara harfiah berarti mengikat)
yang terulang sebanyak 49 kali dan tidak pernah digunakan dalam bentuk kata
benda (ism) tetapi hanya digunakan dalam bentuk kata kerja (fi’il), yaitu
bentuk fi’il madli sekali dan bentuk fi’il mudlari’ 48 kali. Penggunaan kata
‘aql dalam ayat-ayat tersebut pada umumnya digunakan untuk menganalisis
fenomena hukum alam (seperti Q.S. al-Baqarah/2:164) dan hukum-hukum perubahan
sosial (seperti Q.S. al-‘Ankabt/29:43).
Selain kata ‘aql juga dapat dihubungkan dengan predikat orang-orang yang
mempunyai kecerdasan intelektual seperti kata (orang-orang yang mempunyai
pikiran) yang terulang sebanyak 16 kali. Seorang yang mencapai predikat ul
al-bab belum tentu memiliki kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual,
karena masih ditemukan beberapa ayat yang menyerukan kepada kaum ul al-bab
untuk bertakwa kepada Allah Swt (Q.S.al-Maidah/5:100 dan S. al-Thalaq/65:10).
Namun, ul al-bab juga dapat digunakan bagi pemilik IQ yang sudah
menyadari akan adanya kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi di balik kemampuan
akal pikiran (Q.S. al-Baqarag/2:269 dan S. al-Zumar/39:9). Dan masih banyak
lagi istilah yang mengisyaratkan aktifitas kecerdasan intelektual kesemuanya
itu dapat disimpulkan bahwa ontologi akal hanya terbatas pada obyek-obyek yang
dapat diindera, kepada obyek-obyek yang bersifat metafisik.
Penguasaan kecerdasan intelektual bukan jaminan untuk memperoleh kualitas iman
atau kualitas spiritual yang lebih baik, karena terbukti banyak orang yang
cerdas secara intelektual tetapi tetap kufur terhadap Tuhan. Hal ini juga
ditegaskan di dalam Q.S.al-Baqarah/2:75:
Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan
dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, sedang mereka mengetahui? (Q.S.al-Baqarah/2:75).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa bahwa kecerdasan intelektual terkadang digunakan
untuk meligitimasi kekufuran. Padahal, idealnya kecerdasan intelektual
digunakan untuk memperoleh kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Seorang
ilmuan yang arif tidak berhenti pada level kecerdasan intelektual tetapi
melakukan sinergi dengan kecerdasan-kecerdasan yang lebih tinggi. Inilah makna
simbol ayat pertama yang diturunkan dalam Al-Qur’an: Iqara’ bi ism Rabbik:
“Membaca” harus selalu dikaitkan dengan “nama Tuhan”.
Kecerdasan Emosional[4] (EQ)
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi
dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat
melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang
bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu
tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan
logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama
terhadap kecenderungan emosinya. Seorang yang mampu mensinergikan potensi
intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama
dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara
fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Daniel Goleman
menggambarkan bahwa otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional.
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa keserdasan emosional hanya bisa
aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.[5]
Jenis dan sifat emosi dapat dikelompokkan sebagai berikut:
- Amarah: Bringas, mengamuk, benci, marah besar, jenkel, kesal hati, terganggu,
berang, tersinggung, bermusuhan, sampai kepada kebencian bersifat patologis.
- Kesediahan: Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri,
kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
- Rasa takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali,
khawatir, waspada, tidak tenang, negeri, kecut, fobia, dan panik.
- Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga,
kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,
kegirangan luar biasa, dan batas ujungnya mania.
- Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,
bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
- Terkejut: terkesima, takjub, terpana.
- Jengkel: hina, jijik, muak, mual, dan benci.
- Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan hati hancur lebur.[6]
Kelompok-kelompok emosi tersebut di atas menurut Paul Ekman dari Universitas
California, akan menampilkan ekspresi wajah yang Universal di hampir seluruh
etnik, artinya dari suku dan etnik manapun seorang yang mengalami berbagai
jenis emosi di atas akan menampilkan ekspresi raut muka yang sama.[7]
Di dalam Al-Qur’an, aktifitas kecerdasan emosional seringkali dihubungkan
dengan kalbu. Oleh karena itu, kata kunci utama EQ di dalam Al-Qur’an dapat
ditelusuri melalui kata kunci (kalbu) dan tentu saja dengan
istilah-istilah lain yang mirip dengan fungsi kalbu seperti jiwa (???),
intuisi, dan beberapa istilah lainnya.
Jenis-jenis dan sifat-sifat kalbu (qalb) dalam Al-Qur’an dapat sikelompokkan
sebagai berikut:
* Kalbu yang positif :
1. Kalbu yang damai (Q.S. al-Syura/26:89).
2. Kalbu yang penuh rasa takut (Q.S.Qafl50:33)
3. Kalbu yang tenang (Q.S. al-Nahl/16:6)
4. Kalbu yang berfikir (Q.S.al-Haj/2:46)
5. Kalbu yang mukmin (Q.S.al-Fath/48:4)
* Kalbu tang Negatif:
1. Kalbu yang sewenang-wenang (Q.S. Gafir/40:35)
2. Kalbu yang sakit (Q.S. al-Ahdzab/33:32)
3. Kalbu yang melampaui batas
(Q.S.Yunus/10:74)
4. Kalbu yang berdosa (Q.S.al-Hijr/15:12)
5. Kalbu yang terkunci, tertutup
(Q.S.al-Baqarah/2:7)
6. Kalbu yang terpecah-pecah (Q.S.al-Hasyr/59:14)
Kalau qalb di atas dapat diartikan sebagai emosi maka dapat difahami adanya
emosi cerdas dan tidak cerdas. Emosi yang cerdas dapat dilihat pada sifat-sifat
emosi positif dan emosi yang tidak cerdas pada sifat-sifat emosi negatif.
Eksistensi kecerdasan emosional dijelaskan dengan begitu jelas di dalam
beberapa ayat berikut ini:
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada. (Q.S.al-Haj/22:46)
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai. (Q.S.al-A’raf/5:179)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(Q.S.al-Jatsiyah/45:23)
Ayat-ayat tersebut di atas cukup jelas menggambarkan kepada kita bahwa faktor
kecerdasan emosional ikutserta menentukan eksistensi martabat manusia di depan
Tuhan. Menurut S.H.Nasr, emosi inilah yang menjadi faktor penting yang menjadikan
manusia sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis, yang bisa turun-naik
derajatnya di mata Tuhan. Binatang tidak akan pernah meningkat menjadi manusia
dan malaikat tidak akan pernah “turun” menjadi manusia karena mereka tidak
memiliki unsur kedua dan unsur ketiga seperti yang dimiliki manusia.[8]
Upaya mendapatkan kecerdasan emosional dalam Islam sangat terkait dengan upaya
memperoleh kecerdasan spiritual. Keduanya mempunyai beberapa persamaan metode
dan mekanisme, yaitu keduanya menuntut latihan-latihan yang bersifat telaten
dan sungguh-sungguh (mujahadah) dengan melibatkan “kekuatan dalam” (inner
power) manusia. Bedanya, mungkin terletak pada sarana dan proses perolehan.
Aktifitas kecerdasan emosional seolah-olah masih tetap berada di dalam lingkup
diri manusia (sub-conciousnes), sedangkan kecerdasan spiritual sudah melibatkan
unsur asing dari diri manusia
(supra-conciousnes).
Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual menjadi salah satu wacana yang mulai mencuak akhir-akhir
ini. Wacana ini muncul seolah-olah kelanjutan dari wacana yang pernah
dipopulerkan oleh Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya. Kini sudah
mulai bermunculan karya-karya baru tentang kecerdasan ketiga ini dengan metode
pembahasan yang berbeda-beda. Yang lebih menarik lagi karena buku-buku ini
muncul di dunia Barat. Apakah ini pertanda bahwa Barat kini sudah mulai
melakukan reorientasi pandangan hidup atau karena sedang terjadi suatu krisis
di Barat.
Kalangan ilmuan kini semakin sadar betapa pentingnya manusia kembali berpaling
untuk memahami dirinya sendiri lebih mendalam. Sebab hanya dengan mengandalkan
kecerdasan intelektual saja manusia tidak akan sampai kepada martabat yang
ideal. Atas dasar inilah, Danah Zohar dan Ian Marshal menerbitkan satu buku yang
amat menarik yang diberinya judul: SQ Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence. Dalam buku ini diawali dengan tinjauan secara kritis
kelemahan-kelemahan dunia Barat dalam kurun waktu terakhir ini karena
mengabaikan faktur kecerdasan spiritual ini. Sebaliknya, buku ini memberikan
apresiasi yang sangat positif terhadap niulai-nilai humanisme ketimuran yang
dikatakannya lebih konstruktif daripada nilai-nilai humanisme yang hidup di
Barat.[9]
Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru.
Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan spiritual
(SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia. Seperti telah dijelaskan
terdahulu bahwa manusia mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan
roh dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan
pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat
difahami melalui penggunaan redaksional ayat sebagai berikut:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke
dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
(Q.S.al-Hijr/15:29)
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".
(Q.S.Shad/38:72).
Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan kata (dari roh
Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan
bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga (????
???) dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkan seluruh makhluk harus sujud
kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain selain Allah.
Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai khalifah (representatif)
Tuhan di bumi.
Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk
mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu
tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi
untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan kekhususan-kekhususan
yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati manusia biasa
tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.
Kisah menarik di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya seorang anak manusia
bernama Khidlir ditunjuk menjadi guru spiritual Nabi Musa. Peristiwa ini
terjadi ketika Nabi Musa baru saja mencapai kemenangan dengan tenggelamnya Raja
Fir’an ke dasar laut. Seseorang datang bertanya kepada Nabi Musa, apakah masih
ada orang yang lebih hebat dari anda? Secara spontanitas Nabi Musa menjawab
tidak ada. Seketika itu Allah Swt memerintahkan Nabi Musa untuk berguru kepada
seseorang, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Kahfi/17:65 sebagai berikut:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah
Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Ketika Nabi Musa diterima sebagai murid dengan persyaratan Musa harus bersabar
dan tidak diperkenangkan untuk bertanya secara logika, maka setelah keduanya
tiba di suatu tempat, ditemukan sejumlah perahu nelayang yang ditambatkan di
pantai. Sang guru lalu melubangi satu demi satu perahu itu. Nabi musa tergoda
untuk bertanya, apa arti perbuatan gurunya, bukankah perahu nelayan ini
satusatunya alat mata pencaharian nelayan miskin di desa ini? Khidlir
mengingatkan perjanjian yang telah disetujui, Musa belum diperkenankan untuk
bertanya, kemudian Musa minta maaf lalu keduanya melanjutkan perjalanan. Ketika
sampai di satu tempat, keduanya menjumpai segerombolan anak-anak kecil sedang
bermain-main lau salah seorang dari anak-anak itu ditangkap lalu dibunuh oleh
sang guru. Nabi Musa kembali mengintrubsi gurunya dengan mengatakan, ini apa
artinya? Bukankah anak ini belum mempunyai dosa? Akhirnya Nabi Musa kembali
harus meminta maaf atas kelancangannya. Setelah tiba di suatu tempat, keduanya
menjumpai tembok tua yang hampir roboh, kemudian keduanya berhari-hari
membangun kembali bangunan tembok tua itu. Setelah selesai dipugar, Khidlir
mengajak Nabi Musa untuk meninggalkan tepat itu. Musa pun kembali bertanya, ini
untuk apa semua dilakukan? Untuk yang ketiga kali ini, Nabi Musa tidak
lagi dapat dianggap sabar untuk menjadi murid dan Musa pun sudah tabah untuk
tidak lagi melanjutkan pelajaran kepada gurunya. Sebelum keduanya berpisah,
sang guru tidak lupa menceritakan pengalaman-pengalaman yang pernah ia lakukan.
Gurunya memberikan penjelasan bahwa para pemilik perahu nelayan itu kini sedang
berutang budi terhadap orang yang pernah melubangi peruhunya. Mereka bersyukur
karena seandainya perahu tidak dilubangi sudah barang tentu perahu itu ikut
dijarah oleh pasukan Raja dlalim yang merayakan hari ulangtahunnya di laut.
Anak itu sengaja dibunuh karena Khidlir diberikan ilmu khusus dari Allah Swt
bahwa anak itu kalau sudah besar akan menjadi racun di dalam masyarakatm
termasuk mengkufurkan kedua orang tuanya, sementara kedua orang tua anak
tersebut masih akan dikaruniai anak-anak yang shaleh. Tembok tua itu dipugar
karena di bawah tembok itu tersimpan harta karun yang luar biasa besarnya,
sementara pemiliknya masih dalam keadaan bayi. Tembok itu akan roboh ketika
anak itu sudah besar dan sudah dapat mendayagunakan hartanya[10]
Kisah simbolik ini mengisyaratkan adanya tingkatan-tingkatan kecerdasan.
Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan kecerdasan spiritual.
Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa adalah kecerdasan
intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan spiritual tidak
hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka Nabi pun berpotensi
untuk memperolehnya.
Pengalaman Al-Gazali dan Ibn Arabi
Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan model kecerdasan
spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah
dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual dalam bentuk
muasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari
berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan pikiran dan akal
pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang dimaksud
hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan berbagai
penyakit jiwa. Mukasyafah ini juga merupakan sasaran terakhir dari para
pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di
atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin
ada pada tingkat ini.[11]
Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau
ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat
dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dengan maksud supaya
disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya
merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan
melalui batinnya. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi
diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.
Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham
diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati,
bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham disebut atau
diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra conciousnes
sedangkan intuisi hanya merupakan sub-conciousnes. Allah Swt sewaktu-waktu
dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu
yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang disebut ‘Ilm
al-Ladunny oleh Al-Gazali.[12]
Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan
menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan
pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As
Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al
hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
Al-Gazali mengakui adanya hierarki kecerdasan dan hierarki ini sesuai dengan
tingkatan substansi manusia. Namun Al-Gazali hierarki ini disederhanakan
menjadi dua bagian, yaitu:
1.Kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akan (al-‘aql)
2.Kecerdasan Spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruhani, yang ditetapkan
dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.[13]
Ibn Arabi menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan
dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu yaitu pengetahuan
kudus (‘ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (‘ilm al-asrar) dan
ilmu pengetahuan tentang gaib (‘ilm al-gaib).[14] Ketiga jenis ilmu pengetahuan
ini tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual. Tentang kecerdasan
intelektual, Ibn ‘Arabi cenderung mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan
bahwa intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya
dengan kecerdasan spirituallah yang mampu memahami ketiga sifat ilmu
pengetahuan tersebut di atas.
Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksessibilitas
kecerdasan spiritual. Menurut Al-Gazali, jika seseorang mampu mensinergikan
berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada diri manusia, maka yang
bersangkutan dapat “membaca” alam semesta. Kemampuan membaca alam semesta di
sini merupakan anak tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya.
Karena alam semesta menurut Al-Gazali merupaka “tulisan” Allah Swt.
Menurut Al-Gazali, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan
kemampuan untuk mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara
lain dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Fenomena “kenabian” bukanlah
sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan
sifat-sifatnya untuk “menerimanya”. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai
kecerdasan kepada manusia, maka “kenabian” menjadi fenomena alami. Keajaiban
yang menyertai para Rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral dari
“kenabian”, tetapi hanyalah alat untuk pelengkap alam mempercepat umat percaya
dan meyakini risalah para Rasul itu.
[1]Lips, Hilary M., Sex & Gender an: Introduction, California,
London, Toronto:
Mayfield Publishing Company, 1993, h. 40.
[2]Lihat misalnya dalam Fakhr al-Raz³, al-Tafs³r al-Kab³r, Juz
8 Libanon: Dar Ihya’ wa al-Turats al-‘Arabi, 1990., h.265. Lihat pula
Sa’³d Hawwa, al-Usas f³ al-Tafs³r, Juz 7, Mesir: Dar al-Salam, 1999, h.
3628-3629.
[3]Lihat Sandy MacGregor, Piece of Mind, Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah
Sadar untuk Mencapai Tujuan, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.41.
[4]Kata emosi berasal dari akar kata movere (Latin), berarti “menggerakkan,
bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti bergerak menjauh”. Secara
literal emosi diartikan setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan,
nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.(Lihat Daniel Goleman,
Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional Mengapa Lebih Penting daripada
IQ), Jakarta:
PT. Gramedia Pusaka Utama, 2000, h. 7.) Emosi dalam arti ini dalam bahasa arab
dapat disepadankan dengan kata qalb, berasal dari akar kata qalaba yang secara
harfiah berarti “merubah, membalikkan, menjauhkan”.
[5]Goleman, op, cit., h. 15.
[6]Ibid, h. 411-422.
[7]Goleman, Op. cit., h. 412.
[8]S.H.Nasr, Ideals and Realities of Islam, London: George Allen & Unwil Ltd, 1975,
h. 18-19.
[9]Danah Zohar & Ian Marshal, Spiritual Intelligence: The Ultimate
Intelligence, London: Bloomsbury,
2000, h.31-32.
[10]Kisah ini disadur dari Kitab Tafsir al-Thabari tentang kisa perjalanan
spiritual seorang anak hamba yang bernama Ali AS.
[11]Al-Gazali dalam Muqaddimah Ihya ‘Ulm
al-D³n.
[12]Al-Gazali, Al-Risalah al-Ladunniyyah, (Kumpulan Karangan pendek yang
dibukukan), h, 29-30.
[13]Lihat Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Gazali, Bandung:
Pustaka Perpustakaan Salman ITB Bandung,
1981, h, 70-71.
[14]Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah, Juz IV, h. 394. Bandingkan dengan Fushsh
al-Hikam, h. 369.